Memahami Faktor-Faktor Penyebab Korupsi dan Strategi Pemberantasannya


ABSTRAK
Korupsi menjadi masalah serius yang masih harus diselesaikan oleh pemerintah. Hal tersebut dibuktikan dengan jauhnya ketertinggalan Indonesia dari negara Malaysia dan Singapura. Perilaku korup yang menjamur di Indonesia diyakini berasal dari beberapa penyebab baik dari faktor internal maupun eksternal. Berbagai strategi telah dilakukan pemerintah dalam mencegah dan memberantas korupsi, namun hal tersebut dirasa masih kurang dan terdapat kelemahan. Beberapa upaya masih bisa dilakukan dan ditingkatkan oleh pemerintah demi mewujudkan Indonesia yang bersih.
Kata kunci: korupsi, faktor penyebab, strategi pemberantasan, kelemahan

I. LANDASAN TEORITIS
“Korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea: 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary: 1960). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, serta penyimpangan dari kesucian. Menurut Dwiputrianti (2009), korupsi dapat dicirikan sebagai berikut: (a) dilakukan lebih dari satu orang; (b) merahasiakan motif, ada keuntungan yang ingin diraih; (c) berhubungan dengan kekuasaan atau kewenangan tertentu; (d) berlindung dibalik pembenaran hukum; (e) melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum; dan (f) mengkhianati kepercayaan.
Korupsi masih menjadi masalah besar di negeri ini. Corruption Perception Index (CPI) tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Transparency International, sebuah jaringan antikorupsi internasional, menempatkan Indonesia pada peringkat 88 dari 168 negara yang diukur dengan skor yang dicapai sebesar 36. Corruption Perception Index (CPI) merupakan indeks komposit yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan politisi, dimana skor 0 diberikan kepada negara yang dipersepsikan dangat korup dan skor 100 diberikan kepada negara yang dipersepikan bersih dari korupsi.
  
Gambar 1.1 CPI Negara-Negara di Asia Pasifik Tahun 2015
Sumber: Transparency International Indonesia (TII)
Gambar 1.1 menunjukkan CPI dari negara-negara Asia Pasifik yang sejajar dengan Indonesia. Rendahnya skor CPI yang didapat Indonesia dibandingkan dengan negara Malaysia dan bahkan Singapura yang hampir mencapai skor 100 menandakan bahwa negeri ini masih tertinggal jauh dalam urusan pemberantasan tindak korupsi. Hal ini seperti dibenarkan dengan masih banyaknya praktik korupsi yang muncul di lapangan. Dalam laporan tahunan KPK, selama tahun 2015 terdapat 87 kasus penyelidikan, 57 perkara penyidikan terkait kasus korupsi. Berdasarkan hasil survei persepsi Indonesia yang dilakukan oleh TII tahun 2015, tingginya praktik suap-menyuap di lembaga penegakan hukum masih menjadi salah satu praktik korupsi terbanyak yang ada di Indonesia. Suap-menyuap menjadi akar masalah dari rusaknya iklim persaingan usaha yang sehat. Hal ini lebih jauh tentu dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Arvind Jain dalam karyanya yang berjudul “Corruption: a Review” sebagaimana dikutip dalam buku “Korupsi Mengorupsi Indonesia” menggambarkan area dimana tempat korupsi sering mengambil tempat pada negara demokrasi. Menurutnya, terdapat empat jenis interaksi antarpelaku yang berpotensi menimbulkan korupsi. Interaksi tersebut secara singkat dapat dirangkum melalui gambar di bawah ini.
  
Gambar 1.2 Interaksi yang Berpotensi Menimbulkan Korupsi di Negara Demokrasi
Sumber: Korupsi Mengorupsi Indonesia (Zachrie dan Wijayanto, 2010)
Interaksi pertama adalah antara rakyat dengan pemimpin negara. Disebutkan bahwa potensi tindak korupsi dapat berupa korupsi uang dan korupsi politik yang dimulai ketika dilaksanakannya pemilihan umum yang menjadi ciri khas negara demokrasi. Korupsi uang sangat berpeluang besar terjadi dilakukan oleh orang-orang yang ingin memenangkan pemilihan umum. Sedangkan korupsi politik dapat berupa ditetapkannya kebijakan-kebijakan yang hanya mementingkan kelompok tertentu tanpa memperhatikan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Interaksi kedua menunjukkan adanya peluang tindak korupsi antara pemimpin negara dengan para pejabat yang dipilihnya, yang dapat menyebabkan sebuah korupsi birokrasi. Korupsi birokrasi dipercaya sebagai perpanjangan tangan dalam memeras kekayaan negara. Interaksi ketiga berpotensi menimbulkan korupsi legislatif, yaitu adanya interaksi antara pemimpin negara dengan anggota legislatif dalam pengambilan keputusan atau persetujuan berbagai program pemerintah. Peluang terciptanya korupsi legislatif didukung oleh sistem voting tertutup yang diterapkan oleh lembaga legislatif Indonesia. Interaksi keempat adalah antara anggota legislatif dengan rakyat dimana politik uang kerap berpeluang untuk terjadi dalam memenangkan kursi di lembaga legistalif serta dalam penegakan hukum dan peraturan perundangan.
Berdasarkan keempat interaksi tersebut, pada bab berikutnya akan dibahas mengenai apa penyebab dilakukannya korupsi tersebut serta bagaimana strategi pemberantasan korupsi yang selama ini diterapkan oleh pemerintah.

II. PEMBAHASAN
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (2000) membagi faktor penyebab korupsi menjadi empat yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi, dan faktor transnasional.  Dari sisi politik, Robert Klitgard (2005) merumuskan formula terjadinya korupsi melalui persamaan M+D-A=C dimana M adalah monopoly, D adalah discretionary, dan A adalah accountability. Menurutnya, korupsi terjadi karena adanya monopoli kekuasaan ditambah kewenangan yang besar tanpa disertai dengan transparansi dan tanggung jawab. Di dalam Buku Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi dijelaskan bahwa penyebab korupsi dari sisi hukum adalah karena lemahnya substansi hukum, rumusan yang menyebabkan multi tafsir, kontradiksi atau overlapping dengan peraturan lain, dan sanksi yang tidak setara dengan perbuatan yang dilakukan. Dari sisi ekonomi, pendapatan atau gaji yang tidak sesuai dengan kebutuhan menjadi penggerak utama perilaku korupsi. Namun, korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang kurang secara material akan tetapi justru orang yang memiliki kecukupan diatas rata-rata justru banyak yang melakukan korupsi demi menjaga gengsinya untuk memenuhi keinginan material yang sebenarnya berada diluar batas kemampuan finansial mereka. Pope (2003) menyatakan bahwa korupsi bukanlah disebabkan oleh kemiskinan, namun sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi. Faktor keempat yaitu organisasi. Korupsi dapat terjadi karena kurangnya teladan sang pemimpin, budaya organisasi yang buruk, dan manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Selain berdasarkan keempat faktor tersebut, Buku Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi menyebutkan penyebab korupsi juga dapat berasal dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor pendorong paling kuat untuk melakukan tindak korupsi karena faktor-faktor ini melekat pada masing-masing individu yang berasal dari hari nurani dan logika berpikir. Faktor internal yang berasal dari aspek perilaku individu antara lain:
1.      Sifat tamak dan rakus Manusia
Dorongan untuk melakukan korupsi diperkuat dengan adanya sifat selalu tidak merasa cukup dengan apa yang dimiliki saat ini. Hal ini terjadi karena kurangnya rasa syukur, sikap selalu membanding-bandingkan dengan kepemilikan orang lain, dan sifat rakus yang tidak mau kalah dengan orang lain.
2.      Moral yang kurang kuat
Karakter diri dan sikap disiplin dapat mempengaruhi pembentukan moral seseorang. Orang yang memiliki tingkat moral yang rendah cenderung untuk mudah melakukan tindak korupsi, baik itu yang berasal dari dorongan pribadi maupun ajakan dari orang lain.
3.      Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup yang konsumtif adalah candu, begitu pula dengan korupsi. Sekali seseorang melakukan korupsi demi mendukung gaya hidupnya yang konsumtif, maka akan sulit baginya untuk keluar dari jerat korupsi. Hal ini terjadi karena penghasilan yang didapat seseorang tidak mampu untuk menutupi semua pengeluarannya.
Dari aspek sosial, peran keluarga turut menentukan seseorang melakukan tindak korupsi. Tuntutan yang berasal dari keluarga untuk mencapai standar kehidupan tertentu yang biasanya diukur dengan kadar materialitas menjadikan korupsi sebagai jalan keluarnya. Selain itu, pembiaran atas perilaku korupsi yang dilakukan oleh orang terdekat seakan-akan korupsi menjadi pilihan yang dibenarkan.
Sementara itu, terdapat faktor eksternal sebagai pemicu tindakan korupsi antara lain:
1.      Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi
Pandangan masyarakat terhadap korupsi menjadi faktor penting karena hal tersebut dapat melahirkan budaya korupsi yang apabila sudah mengakar secara luas dan dalam, maka akan sangan sulit untuk diberantas. Selain itu juga terdapat kurangnya kesadaran dari masyarakat bahwa kadang masyarakat kerap melakukan korupsi sebagai akibat dari kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan padahal tindakan tersebut tergolong sebagai korupsi. Lemahnya kesadaran masyarakat untuk turut serta memberantas korupsi juga menjadi faktor yang memicu lahirnya koruptor baru.
2.      Aspek ekonomi
Adanya desakan ekonomi yang berasal dari tuntutan keadaan seringkali menjadi penyebab utama seseorang melakukan korupsi sebagai jalan pintas dalam menyelesaikan masalahnya.
3.      Aspek politis
Ketidakstabilan keadaan politik dalam negeri, adanya kepentingan politik, dan kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan dapat menjadi penyebab dilakukannya tindakan korupsi.
4.      Aspek organisasi
Kurang adanya sikap keteladanan pemimpin, tidak adanya kultur organisasi yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, kelemahan sistem pengendalian manajemen, dan lemahnya pengawasan diyakini menjadi faktor yang berpotensi memunculkan tindakan korupsi.

Sebagai upaya pemerintah dalam mencegah dan menghapus tindakan korupsi, beberapa strategi dalam pemberantasan korupsi telah diterapkan, antara lain:
1.      Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
Di Indonesia telah dibentuk lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2002. Selain itu juga dilakukan perbaikan kinerja lembaga peradilan baik dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan melalui penerapan reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik. Lembaga audit pemerintah seperti Inspektorat Jenderal sebagai pengawas internal sebuah lembaga juga ditingkatkan kinerjanya.
2.      Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
Penilaian kinerja sektor pemerintah yang berorientasi pada proses dan hasil (outcome) yang disusun secara sistematis dapat meningkatkan kualitas kinerja sehingga diharapkan tingkat korupsi akan berkurang. Selain itu, adanya kewajiban bagi para pejabat untuk melaporkan daftar harta kekayaan adalah salah satu upaya transparansi untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
3.      Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
Pemberian akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan tindakan korupsi. Dengan begitu, diharapkan masyarakat secara aktif ikut berperan dalam upaya pemberantasan korupsi melalui berbagai sarana yang disediakan pemerintah untuk melaporkan segala tindak korupsi. Selain itu, peran aktif pemerintah dalam memberdayakan masyarakat adalah melalui pemberian edukasi dalam bentuk kurikulum pembelajaran anti-korupsi di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia serta berbagai iklan layanan masyarakat atau kampanye anti-korupsi untuk meningkatkan kesadaran publik.
4.      Instrumen Hukum yang Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Semua upaya pemerintah akan sia-sia apabila tidak diiringi dengan aparat penegak hukum yang bersih dari korupsi yang ditunjang dengan instrumen hukum yang kuat dan mengikat. Di Indonesia telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5.      Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi terhadap seluruh sistem kinerja yang ada menjadi faktor yang sangat penting karena tidak sedikit tindak korupsi yang baru diketahui pada saat dilakukannya pengawasan.

III. KESIMPULAN
Berdasarkan faktor-faktor penyebab korupsi yang diidentifikasi sebelumnya dan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah selama ini, ternyata pemberantasan korupsi di Indonesia dirasa masih kurang. Hal ini tercermin dalam masih rendahnya skor CPI pada tahun 2015, walaupun sebenarnya mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, namun masih terdapat upaya-upaya yang perlu ditingkatkan antara lain:
1.      Pendidikan anti-korupsi sebaiknya dimasukkan sejak dini ke dalam kurikulum wajib belajar, tidak hanya dimulai pada saat memasuki perguruan tinggi;
2.      Pembinaan karakter dan moral individu melalui pemberdayaan masyarakat maupun optimalisasi peran keluarga dan agama;
3.      Perlu adanya payung hukum yang jelas dalam melindungi hak warga negara yang berpartisipasi dalam pelaporan dugaan tindak korupsi;
4.      Sanksi yang kurang berat dinilai tidak cukup memberikan efek jera terhadap perilaku tindak korupsi. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa denda yang paling banyak diberikan terhadap pelaku korupsi adalah sebesar satu miliar rupiah, bahkan dalam pasal tertentu disebutkan bahwa denda paling banyak diberikan sebesar Rp 250.000.000,00. Hal tersebut tentu saja tidak sepadan dengan besarnya kerugian negara yang telah dilakukan;
5.      Perlu adanya aturan yang menyebutkan bahwa harus dilakukan pengembalian terhadap seluruh kekayaan negara yang telah dicuri, tidak cukup hanya dengan membayar denda yang jumlahnya tidak signifikan terhadap korupsi yang dilakukan atau kurungan penjara;
6.      Inkonsistensi pengambilan keputusan oleh aparat penegak hukum diyakini masih menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pelaku korupsi sehingga praktik korupsi masih menjamur di Indonesia.
7.      Perlu dibentuk mekanisme pemberian penghargaan bagi siapapun yang mengungkapkan adanya dugaan praktik korupsi di lingkungannya.



DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2011). Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi.
Dwiputrianti, S. (2009). Memahami Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi, 6(3), 241-253.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2016). Laporan Tahunan 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi “Menolak Surut”. Jakarta : Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2015.
Transparency International Indonesia. (2016). Corruption Perception Index 2015 “Perbaiki Penegakan Hukum, Perkuat KPK, Benahi Layanan Publik”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Wijayanto & Zachrie, R. (2010). Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Comments